Thursday, December 8, 2011

TASAWUF DAN ILMU KALAM

TASAWUF DAN ILMU KALAM
PERAN ILMU KALAM DALAM MEMANTAPKAN PENGALAMAN AJARAN ISLAM
1.      Pengertian Ilmu Kalam

Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah. Jika Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah, dan Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat esoteristik, mengenai hal-hal batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam agama Kristen, misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen, Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia). Karena itu sebagian kalangan ahli yang menghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka melihatnya sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam.
2.      Peran ilmu Kalam Dalam Ajaran Islam

Konsekuensi ajaran tauhid yang seperti itu terhadap penganutnya adalah berupa dorongan kuat, dengan mengerahkan semua potensinya, untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah dipikulkan kepadanya oleh Islam. Yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan disini adalah kandungan ajaran Islam itu sendiri yang mana setiap muslim dituntut untuk mengetahui dan memahaminya.
Sumber utama ajaran Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah, yang disebut pertama merupakan kalam Allah yang diwahyukan-Nya kepada Nabi Muhammad s.a.w., melalui Malaikat Jibril, sedangkan yang kedua merupakan tradisi (Sunnah) Nabi, baik dalam bentuk ucapan, tingkah laku maupun ketetapan (taqrir) dari Nabi. Kedua-duanya (Al-Qur’an dan Sunnah Nabi), secara gradual menduduki posisi sentral dalam bangunan ajaran Islam, atau dengan kata lain, berbicara tentang kandungan ajaran Islam harus merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.










3.      Ilmu kalam Dalam Islam
Ajaran Islam menuntut agar setiap muslim mempunyai keyakinan (akidah) tertentu dalam masalah ketuhanan sebab hal itu termasuk masalah yang sangat pokok dalam sistem ajaran Islam yang tidak boleh diabaikan. Al-Qur’an, sumber keagamaan dan moral yang utama dalam Islam seringkali melontarkan ide agar terciptanya masyarakat yang terdiri atas individu-individu yang shaleh, dengan kesadaran religius yang tinggi serta memiliki keyakinan (akidah) yang benar dan murni tentang Tuhan. Al-Qur’an sebagaimana diketahui juga memberikan bimbingan dalam rangka terciptanya cara yang layak bagi manusia dalam rangka berhubungan dengan Tuhan.
Dari ide Al-Qur’an tersebut para pakar Muslim yang tergolong ke dalam kelompok Mutakallimin, menciptakan dan mengembangkan sebuah ilmu tentang kebutuhan (teologi Islam) yang kemudian dikenal dengan sebutan ilmu kalam.
Secara historis dapat diketahui bahwa kaum Hanbaliah merupakan kelompok yang paling keras menolak kehadiran ilmu kalam (Teologi) dalam sistem ajaran Islam.
Pada umumnya kaum Hanbaliah melihat problematika ilmu kalam (teologi) yang terpenting adalah terletak pada metode argumentasinya yang tidak sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan Sunnah karena menggunakan metode dialektis dan rasional, yang pada dasarnya pinjaman dari luar, khususnya filsafat Yunani.
Pandangan ini disanggah oleh kaum Mutakallimin, terutama oleh Al-Asy’ari. Menurut al-Asy’ari, Nabi Muhamamd memang tidak merumuskan ilmu kalam (teologi), tetapi dasar-dasar pemikiran dalam ilmu kalam (teologi) yang dikembangkan kaum Mutakallimin terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Kaum Mutakallimin mempunyai pandangan bahwa metode dan teori rasional-lah yang dapat menghasilkan pengetahuan yang benar, oleh karena itu mempelajarinya merupakan suatu keharusan (wajib). Pandangan dan anggapan inilah, kata Ibnu Taimiyyah yang membuat kaum Mutakallimin mengklaim bahwa metode kalam yang mereka sodorkan adalah satu-satunya metode yagn absah, tepat untuk menjelaskan ushul al-din, dan oleh karena itu pula mereka menganggap ilmu kalam (teologi) yang mereka kembangkan menempati posisi penting dalam sistem ajaran Islam.
Ibn Taimiyyah menuduh kaum Mutakallimin telah mengabaikan metodologi yang ditawarkan Al-Qur’an dalam menjelaskan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ushul al-din. Tuduhan ini erat kaitannya dengan kepercayaannya bahwa Al-Qur’an meskipun tidak pantas disebut selain sebagai kalam, mengandung ajaran yang sesungguhnya pantas di sebut ushul al-din itu. Al-Qur’an dan Sunnah, menurutnya mengajukan bukti-bukti dalam berbagai bentuk dan cara, sesuai dengan kebutuhan manusia. Al-Qur’an mengajukan bukti dalam bentuk berita (ikhbar) sederhana, peringatan (tanbih), bimbingan (irsyad), dan dalam bentuk argumen-argumen rasional yang bersifat badihi. Sehubungan dengan itu, Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa tidak seorang pun mendapat petunjuk kecuali orang-orang yang ditunjuki oleh Tuhan dengan wahyunya.
Ibn Taimiyah setuju dengan sikap dan perlakuan kasar Imam al-Syafi’I terhadap kalam dan Mutakallimin. Imam al-Syafi’i pernah mengatakan bahwa ahl al-kalam haruslah disingkirkan dan dijadikan momok karena mereka telah terbukti membawa hasil kerja nalar mereka, dan berbahaya bagi umat.
Ulama lain yang mempunyai sikap anti kalam yang cukup ekstrim adalah Fakhr al-Din al-Razi. Kalama menurutnya lebih banyak memberikan keraguan daripada kepastian. Al-Razi ini pernah mengatakan bahwa ia telah lama melakukan perenungan yang mendalam tentang metodologi kalam dan prosedur-prosedur yang dilalui filsafat, dan ia menemukan bahwa kedua-duanya tidak pernah dapat menyembuhkan penyakit sebagaimana kedua-duanya tidak pernah dapat melepaskan lapar dan dahaga iman. Metodologi yang terbaik menurutnya adalah apa yang disodorkan oleh Al-Qur’an.
Meskipun ulama-ulama yang disinggung diatas tampak begitu keras mengkritik dan menolak ilmu kalam (teologi), namun tidaklah berarti mereka sama sekali meninggalkan pembahasan-pembahasan teologis dalam kerja intelektual keagamaan mereka.
Sebenarnya kritik yang dilontarkan ulama-ulama tersebut sebagaimana telah diungkapkan di atas, lebih tertuju kepada persoalan metodologis yang dipergunakan oleh kaum Mutakallimin dalam merumuskan kalam formal yang hasil bersihnya adalah berupa rumusan-rumusan mengenai ushul al-din yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Tetapi kritik dan tawaran itu segera mendapat sanggahan balik dari pihak pembela kalam (teologi). Di antara ahl-kalam yang paling bersemangat menanggapi kritik-kritik terhadap ilmu kalam tersebut adalah Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Pembelaan al-Asy’ari terhadap kaum kalam selain karena ia terlibat dalam merumuskannya, juga karena teologi yang dikembangkannya tidak terlepas dari sasaran kritik keras, terutama yang datang dari kaum Hanbaliah, walaupun ia sendiri sebenarnya telah berusaha mendekatkan faham keagamaannya kepada Hanbalisme.
Dalam penjelasannya, al-Asy’ari menganggap orang-orang yang tidak menrima kehadiran ilmu kalam sebagai orang-orang yang menjadikan kejahilan sebagai modal, dan oleh karena itulah mereka merasa berat untuk melakukan pembahasan-pembahasan mengenai ushul al-din dengan menggunakan metode rasional (al-nazhr).
Al-Asy’ari melihat argumen-argumen yang dikemukakan oleh pengkritik kalam adalah argumen-argumen yang tidak mempunyai dasar sama sekali. Upayanya menolak tuduhan dan argumen-argumen mereka itu, al-Asy’ari sebagaimana dikutip oleh al-Badawi mengemukakan tiga alasan penting.
1.   Kalau pengkritik kalam menganggap ilmu kalam yang diciptakan oleh kaum Mutakallimin sebagai hasil perbuatan bid’ah dan menyesatkan, lantaran Nabi menurut mereka tidak pernah menganjurkan untuk membahas ilmu seperti itu, maka al-Asy’ari menolak dan membantah argumen ini dengan mengemukakan alasan: Nabi pun tidak pula pernah berkata: “barang siapa yang membahas ilmu kalam, Jadikanlah ia sebagai pembawa bid’ah dan kesesatan”.
2.   Anggapan pengkritik kalam bahwa persoalan-persoalan yang dibahas dalam ilmu kalam bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, menurut al-Asy’ari adalah anggapan yang keliru sebab nyata sekali bahwa hal-hal yang dibahas di dalam ilmu kalam itu, demikian al-Asy’ari berargumen, berakar dari al-Qur’an dan Sunnah.
3.   Seluruh persoalan teologis yang dibahas oleh ulama-ulama kalam itu sebenarnya bukanlah persoalan-persoalan yang tidak diketahui oleh Nabi. hanya saja dari masa Nabi sampai kepada masa sahabat, meskipun persoalan-persoalan tersebut ada dasarnya pada Al-Qur’an dan Sunnah, kebetulan tidak menjadi bahasan yang sistematis di kalangan sahabat.

Demikianlah pembelaan al-Asy’ari terhadap ilmu kalam yang pada prinsipnya merupakan sanggahan balik terhadap keberatan kaum Hanbaliah terhadap disiplin ilmu tersebut.
Hampir semua ahli kalam berpendapat bahwa nalar merupakan jalan untuk membuka pengetahuan, terdapat pengetahuan tentang ketuhanan. Kaum Mu’tazilah umpamanya, menghargai akal atau daya nalar tanpa mengabaikan wahyu karena mereka menyadari bahwa kedua-duanya sama-sama berasal dari Tuhan.
Abu Ma’in dari kubu Ahl al-Sunnah berpendapat bahwa setiap orang yang sudah balligh  harus sanggup membuktikan adanya Tuhan, pencipta alam semesta, melalui argumen rasional. al-Baqillani mendeskripsikan pandangan Al-Asy’ariah yang mewajibkan seseorang karena yang demikian itu adalah perintah syara’. Ia menyatakan bahwa yang pertama kali diwajibkan Allah atas hamba-hamba-Nya, dan berargumen secara rasional dengan bukti kekuasaan-Nya sebab Allah tidak dapat diketahui begitu saja dan tidak dapat dicapai dengan pandangan empiris.
Imam al-Zarkasyi juga melihat upaya yang dilakukan oleh kaum Mutakallimin sebagai upaya yang positif. Ia menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada argumen dan dalil pembagian dan pembatasan terhadap semua pengetahuan aqliyyan dan sam’iyyah melainkan al-Qur’an juga membicarakannya.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa memang terdapat perbedaan pandangan ulama sejak dulu tentang keperluan disiplin ilmu kalam dan membantu umat untuk mendekati persoalan keagamaan, terutama yang bersifat ‘aqadiyyah. Secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan pandangan tersebut berakar pada perbedaan ulama dalam menilai akurasi pengetahuan yang ditimbulkan oleh capaian-capaian akal atau nalar.

0 comments:

Post a Comment

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com